1. Komunitas St. Fransiskus Banjarmasin- Kalsel
2. Komunitas St Fransiskus Buntok-Kalteng
3. Komunitas Assisi Palangkaraya-Kalteng
4. Komunitas Greccio Muarateweh-Kalteng
5. Komunitas Santa Klara Parenggean-Kalteng
6. Komunitas St. Fransiskus Pontianak- Kalbar
7. Komunitas Emaus – Nyarumkop
8. Komunitas Santo Fransiskus Assisi – Balai Semandang – Kalbar
9. Komunitas Santo Fransiskus Batulicin – Kalsel
1. Komunitas St. Fransiskus Banjarmasin- Kalsel
Sejarah singkat
Kedatangan Suster- suster Fransiskanes dari Dongen bersangkut paut dengan kedatangan Bruder MTB ke Banjarmasin pada tahun 1935. Tahun 1933 Pastor Schoone dibantu oleh beberapa tokoh masyarakat Cina disini membuka HCS (Sekolah Belanda Tionghoa) di RK Ilir, dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Pemerintah Belanda tidak senang dengan sekolah katolik itu, maka nama katolik tidak boleh dipakai dalam nama sekolah itu. Sekolah itu berkembang tetapi ada kesulitan di dalam yakni kekurangan guru.
Sampai tahun 1938 para misionaris yang bekerja di Kaltim, Kalteng, dan Kalsel di bawah pimpinan Vikaris Apostolik di Pontianak. Dan syukurlah sejak tahun 1921 Bruder MTB sudah berkarya di Pontianak. Jadi soal kekurangan guru dibicarakan dengan Mgr van Valenberg OFMCap ( Vikep Pontianak ) dengan Dewan Jendral MTB di Belanda dan hasilnya tanggal 4 Oktober 1935, 6 Bruder MTB tiba di Banjarmasin. Dewan Jenderal MTB mengajukan syarat, tidak mau mengelola sekolah campuran putra putri. Karena itu pastor Schoone harus membuka sekolah lagi untuk menampung murid putrid yang waktu itu berjumlah 225 orang. Tanggal 5 Oktober 1935 pastor Schoone membuka SD putri di Kelayan.
Masyarakat senang hati dengan sekolah yang baru itu, Kotapraja berjanji member subsidi, tetapi Belanda tidak senang dengan sekolah baru itu. Kesulitan pastor Schoone di SD yang baru ini sama seperti SD di RK Ilir yakni kekurangan guru. Beliau menulis surat ke pimpinan atas permohonannya. Dewan Jenderal MSF mulai mencari suster yang mau berkarya di Banjarmasin sampai ke Jerman dan Polandia tetapi tidak dapat. Akhirnya bantuan datang juga, Dewan Jendral SFD di Belanda sanggup membantu karya misi di Banjarmasin, maka pada tanggal 23 Februari 1937 diumumkan bahwa ada 5 Suster dari Belanda yang akan diutus ke Banjaermasin dengan kegembiraan luar biasa berita itu diterima.
Pada tanggal 11 Oktober 1937 lima orang Suster SFD tiba di pelabuan Banjarmasin. Mereka adalah: Sr. Clementia Geerden, Sr. Josephina Jacobs, Sr. Theobalda van Gool ( mereka dari Medan berangkat bulan April dari Belanda ) bergabung dengan Sr. Laurentine Pijnenburg dan Sr. Josephine Ghuys yang berangkat dari Belanda bulan September. Pada waktu itu Pater Janmaat adalah Kepala Sekolah SD Putri dan ia begitu senang sehingga pada hari yang sama ia menyerahkan sekolah itu kepada suster yang baru datang. Rumah suster belum siap, tetapi ada tiga ruang kelas disediakan untuk tempat tinggal suster dan ada kapel untuk berdoa. Belum ada gereja dan baru tanggal 5 Nopember 1938 Mgr Kusters memberkati Gerja Kelayan. Para suster tinggal di ruang kelas sampai tanggal 14 Juli 1938.
Para suster mulai kerja di sekolah dan mengembangkan pendidikan yang sudah dirintis. Tanggal 1 Desember 1938 Sekolah Kepandaian Putri dibuka dan diresmikan oleh Ibu Gubernur Nyonya haga dengan jumlah murid pertama 17 orang. Tanggal 8 Desember 1941 pecah perang dunia II. Waktu itu ada 6 Suster, 6 Bruder, Mgr Kusters dan pastor Schoone yang tinggal di Banjarmasin. Karena perang situasi tidak menentu. Sesudah Natal tidak ada murid yang masuk sekolah karena takut. Banyak orang lari ke Jawa atau masuk ke pedalaman.
Atas permohonan pemerintah semua suster, bruder, pastor dan Mgr mengikuti kursus kilat perawatan dan atas permohonan Walikota Banjarmasin mereka semua pindah ke kota ( waktu itu Kelayan termasuk pinggiran kota ) suster- suster pindah ke jalan Suprapto supaya mereka tinggal dekat rumah sakit darurat. SD Suster dan Sekolah Kepandaian Putri dipakai untuk para pengungsi.
Tanggal 10 Februari 1942 dinihari walikota datang kepada Mgr Kusters dan member perintah untuk berangkat ke Jawa bersama semua suster, bruder dan pastor. Harus berangkat selekas mungkin karena tentara Jepang sudah dekat. Mgr Kusters protes tetapi harus berangkat.
Tanggal 11 Februari mereka berangkat ke Kuala Kapuas dan tanggal 12 dari Kuala Kapuas dengan perahu Makasar yang mengangkut 180 penumpang mereka menuju Surabaya tanpa kompas dan hanya mengandalkan arah matahari. Karena menghindari banyak ranjau laut ternyata perjalanan mereka terdampar ke Madura tanggal 17 Februari. Kapal Marine Belanda akhirnya membawa mereka dari Madura ke Surabaya. Tanggal 18 Februari para suster tiba di Surabaya dan menginap di Susteran Ursulin Kepanjen. Para suster membantu bekerja di RS RKZ. Tidak lama ternyata Susteran Ursulin juga diduduki tentara Jepang, mereka harus pindah ke rumah biasa, tetapi ada 2 Suster yang tetap bekerja di RKZ dan yang lain diam- diam membantu mengajar di sekolah. Tanggal 3 September 1943 para suster ditangkap oleh Jepang dan diinternir di Surabaya bersama 70 Suster yang lain. Tanggal 2 September 1944 mereka dipindah ke kamp Halmahera Semarang.
Kamp ini sangat buruk, mereka harus kerja keras, makan kurang dan waktu malam mereka juga harus jaga. Ada 4.000 orang yang ditawan di kamp ini. Tanggal 3 September 1945 para suster boleh meninggalkan kamp dan untuk sementara mereka berobat dan bekerja di RS Elisabeth Semarang. Karena kondisi para suster sesudah keluar dari kamp tidak kuat lagi maka mereka kembali ke Belanda tanggal 15 Desember 1945 dan tiba di Dongen 8 januari 1946. Mereka baru kembali lagi ke Banjarmasin tahun 1949.
Selama perang, sekolah suster ditutup dari Februari 1942 sampai September 1945 karena diduduki dan dipakai oleh tentara Jepang. Gedung sekolah banyak mengalami kerusakan dan alat- alat sekolah dicuri. Sesudah tentara Jepang keluar, ganti tentara Belanda (KNIL) yang masuk dan memakai gedung sekolah. Mgr Kusters terpaksa membangun pondok di halaman gereja dan susteran yang berfungsi sebagai ruang kelas, tetapi guru tidak ada juga. Sekolah Bruder dibuka lagi November 1945 dimana 2 orang pastor MSF, 1 bruder dan 1 suster dari Veghel yang baru keluar dari kamp menjadi guru.
Suster SFD belum bisa datang lagi ke Banjarmasin, maka Mgr Kusters meminjam suster dari KSFL Pematangsiantar yang tinggal di Jakarta dan tidak boleh kembali ke Medan karena situasi kurang aman. Ada 13 suster yang membantu mengajar di sekolah. Tahun 1949 mereka harus pulang ke Medan. Tanggal 31 Mei 1949, 5 Suster SFD datang lagi ke Banjarmasin untuk melanjutkan karya yang telah dimulai dan 4 suster menyusul dalam tahun yang sama sehingga Banjarmasin menjadi komunitas yang cukup besar.
Tahun tahun sesudah perang memang cukup berat untuk orang Indonesia maupun orang dari luar. Waktu malam kurang aman karena banyak tembak menembak. Rumah Suster bertetangga dengan tangsi KNIL yang sering mendapat serangan gerilya Indonesia. Kadang- kadang para suster membangun “bunker” dengan tilam mereka, ada keberanian untuk menghadapi situasi yang tidak aman.
Sekolah suster berjalan baik, walau ada banyak kesulitan. Sesudah perang diberlakukan system sekolah pool ( gabungan sekolah pemerintah dan swasta). Tahun 1951 sistem sekolah pool dihapus dan sekolah suster di Kelayan menjadi sekolah swasta lagi seperti dulu, tetapi tidak boleh lagi memakai nama yayasan Belanda maka diganti menjadi: “ Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Santa Maria” pada tanggal 30 Oktober 1951. Tanggal 1 Mei 1950 Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar di sekolah suster, tentu ini merupakan perubahan yang luar biasa bagi guru dan murid yang selama ini memakai bahasa Belanda. Tanggal 1 Juli 1953 para suster mulai membuka SMP, Sr. Miryam sebagai kepala sekolah yang pertama. Tahun 1956 sesudah berkelahi dengan TNI selama 6 tahun semua gedung sekolah suster dibebaskan dari tentara. Sekolah banyak yang rusak setelah dipakai tiga kelompok tentara (Jepang, Belanda dan Indonesia) perlu perbaikan yang besar.
Jelas sekali bahwa tahun- tahun pertama berat sekali untuk suster SFD di Banjarmasin. Sebelum perang semuanya dalam taraf pembangunan, sesudahnya harus mendekam di kamp selama 4 tahun dan untuk pemulihan tenaga harus kembali ke Belanda. Tahun 1949 ketika suster datang lagi ke Banjarmasin terjadi konflik bersenjata antara tentara Belanda dan Indonesia, juga transisi dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia. Semua perubahan itu menuntut penyesuaian hati dari para suster yang berasal dari luar negeri, tidak mudah tapi mereka berusaha untuk menghadapi semuanya. Kesulitan demi kesulitan tidak pernah selesai, demikian juga dengan tenaga yang dikirim ke Indonesia mulai tidak sanggup lagi maka Dewan Jenderal SFD memutuskan untuk menutup komunitas di Banjarmasin pada tanggal 1 Desember 1959. Mgr sangat keberatan beliau menulis surat ke Dongen yang harus dipelajari Dewan Jenderal SFD. Mgr meminta SFD boleh berangkat asal ada Kongregasi lain yang bersedia meneruskan karya suster. Setelah mendekati 6 Kongregasi suster di Jawa tidak ada satupun yang bersedia ke Banjarmasin.
Syukurlah, akhirnya ada putri- putri pribumi yang bersedia masuk dan bergabung dalam Kongregasi SFD. Tanggal 11 Oktober 1966, 3 suster pertama Indonesia datang dari Pati ke Banjarmasin untuk melanjutkan karya yang telah dirintis suster- suster pendahulu yang berasal dari Belanda. Sampai sekarang apa yang telah dimulai itu, dilanjutkan dan dikembangkan oleh para suster SFD.
Visi
Persekutuan untuk menciptakan persaudaraan, yang dijiwai semangat Santo Fransiskus dari Asisi dengan dilandasi cinta kasih Yesus Kristus.
Misi
Dengan dijiwai semangat Santo Fransiskus dari Asisi maka anggota komunitas selalu siap dan rela:
a. Menjadi yang paling dina dalam persaudaraan dan penuh kegembiraan melaksanakan perutusan.
b. Mengadakan pembaharuan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman untuk meningkatkan pelayanan kepada sesama.
c. Meningkatkan pendampingan terhadap kaum muda, terutama kepada kaum perempuan dalam bidang pendidikan mental dan spiritual.
2. Komunitas St Fransiskus Buntok-Kalteng
Sejarah singkat
Pada tanggal, 7 Januari 1969, 4 orang suster pioner tiba di Buntok yaitu: Sr. Ameline Van Vooren, Sr. Yoseph Gemer, Sr. Bernadette Tanden dan Sr. Dominique Go Swan Nio. Sr. Ameline Van Vooren membuka poliklinik untuk melayani orang-orang sakit dan orang-orang miskin di paroki dan sekitarnya dibantu oleh Sr. Bernadette. Disamping itu Sr. Bernadette Tanden bertugas mengurus asrama yang sebelumnya diurus oleh Pastor Stahlhache dan Pastor Wiegers, MSF. Sr. Dominique Go Swan Nio bertugas di SMP Kristen yang kemudian pada tanggal 18 November 1971 Sr. Dominique Go Swan Nio diganti oleh Sr Margriet sebagai Kepala sekolah dan Dominique Go Swan Nio pindah ke Banjarmasin. Pada tanggal 21 Oktober 1972 Sr. Agnes ke Buntok membantu di poliklinik juga melayani umat di stasi-stasi maupun pedalaman yang kemudian disusul oleh Sr. Gertrudis pada tanggal 2 Mei 1976 sebagai guru SMP Kristen dan asrama.
Karya-karya para suster mulai dikenal masyarakat dan umat, dan suster-suster diperkenankan untuk mengelola TK Sicilia yang dibuka pada tahun 1982 kemudian deserahkan kepada kongregasi. Pada tahun 2006 pengalihan nama menjadi TK Santa Maria. Tahun 2003 SD Santa Maria dibuka, Sr. Julia Sujati sebagai kepala sekolah. Tahun 2009 SMP Santa Maria dibuka Sr. Germana Sudarniyati sebagai kepala sekolah.
Komunitas Portiuncula Buntok sekarang ini beralamat di Jalan Panglima Batur 07 (samping gereja yang baru/belakang SMP Santa Maria), sebelumnya menempati rumah di samping gereja lama yang sekarang berfungsi sebagai aula paroki. Rumah baru ini diberkati oleh Mgr. A.M Sutrinatmaka, MSF pada tanggal 26 Desember 2001 dan diresmikan oleh Bupati Barito Selatan Ir. H. Baharudin H. Lisa dengan nama: Komunitas PORTIUNCULA
Visi: Persaudaraan yang disemangati oleh cinta Bapa bagi sesama
Misi: Melaksanakan tugas perutusan kepada anak didik, orang sakit, asrama dan pelayanan pastoral.
3. Komunitas Assisi Palangkaraya-Kalteng
Sejarah singkat
Berawal dari tawaran Bapak Uskup Demarteau, Uskup Keuskupan Banjarmasin kepada Pemimpin SFD Regio Jawa Kalimantan Sr. Gabriel pada tahun 1971 untuk berkarya di Keuskupan Palangkaraya yang merupakan pemekaran Keuskupan Banjarmasin membuka komunitas dan berkarya di rumah pastoran MSF Kalimantan Jl. TjilikRiwut Km. 1 Palangkaraya. Diutus untuk mengawali komunitas yaitu Sr. Anita Lestari sebagai Kepala TK Sinar Surya dan Sr. Yohana sebagai guru SD dibawah Yayasan Siswarta milik Keuskupan, sedangkan Sr. Agnes Rumirah berpastoral sambil menjajaki perijinan Poliklinik, namun sampai sekarang ijin pendirian Poliklinik tidak di dapatkan.
Pada tanggal 2 Juli 1994 pemberkatan rumah baru milik Kongregasi SFD yang beralamat di Jl. Tjilik Riwut Km. 5,5 di depan kantor Walikota Palangkaraya, diberkati oleh Mgr. Husein Uskup Keuskupan Palangkaraya. Seiring berjalannya waktu Kongregasi mendirikan karya Sekolah TK, SD dan SMP dibawah naungan Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Santa Maria Banjarmasin. Sekolah berkembang dan semakin dipercaya oleh masyarakat setempat.
Visi :
Terwujudnya hidup persaudaraan yang inklusif / terbuka, terencana dan tertib, harmonis dan indah, damai dan gembira, saling mendukung, yang dilandasi oleh cinta kepada Allah dan sesama manusia.
Misi :
a. Terbuka terhadap tanda – tanda zaman, dengan mengembangkan serta mewujudkan potensi diri (sumber daya manusia) dan spiritualitas tarekat dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat secara nyata.
b. Mewujudkan hidup persaudaraan yang ramah dan akrab, tulus dan berbelas kasih, sehingga dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, khususnya dalam bidang pendidikan yang bersifat menyeluruh / holistic kepada anak didik.
c. Membangun hidup persaudaraan yang bertekun dalam doa dan internalisasi nilai-nilai injili dan spiritualitas tarekat, sebagai dasar untuk mewartakan kerajaan Allah dan melaksanakan misi tarekat dalam kehidupan setiap hari.
d. Meningkatkan kualitas hidup religius Fransiskan, di atas 4 pilar nilai / 4 nilai dasariah, yaitu harus dihayati dalam hidup persaudaraan. Keempat nilai pokok out adalah : pertobatan, kemiskinan, kehinadinaan, dan berdoa. Yang mengingatkan setiap orang bahwa hidup didunia ini adalah sebagai “ PERANTAU DAN MUSAFIR “ / Peziarah, yang sedang berjalan menuju Tanah Air Abadi.
4. Komunitas Greccio Muarateweh-Kalteng
Sejarah singkat
Berdiri pada tahun 1985
Setelah sekian tahu, rumah menjadi rusak dan perlu membangun kembali, maka komunitas (bangunan) baru diberkati pada: 16 Maret 2000 Yang Memberkati rumah Administrator Diosisan Keuskupan Palangkaraya P. Willibald Pfeuffer, MSF (alm)
Visi
Komunitas yang menciptakan Spiritualitas Persaudaraan dalam Pelayanan kepada setiap Orang
Misi
Kerelaan untuk membuka diri dalam memperhatikan kebutuhan Gereja & Masyarakat, Kaum Muda, Orang kecil dengan pendampingan yang maksimal sebagaimana yang diteladankan oleh Yesus Kristus dalam Keprihatin-Nya.
Motto Komunitas “ Lahir Kembali menjadi yang terkecil “
5. Komunitas Santa Klara Parenggean-Kalteng
Sejarah singkat
Bermula dari undangan Rm. Willybald MSF untuk berkarya pastoral di Parenggean, maka Kongregasi mengutus Sr. Margriet Alina untuk mengajar agama di SD Negeri, Sr. Mari Agnes Nesi mengajar agama di SMP Negeri, dan Sr. Marcella Sidebang mengawali perijinan Poliklinik.
Pada awalnya para suster menempati rumah yang dibeli dari masyarakat setempat yang sekarang digunakan untuk Poliklinik sambil membangun rumah komunitas di belakang Poliklinik.
Pada tahun 2002 pemberkatan rumah baru oleh Mgr. A. Sutrisna Atmaka Uskup Keuskupan Palangkaraya dihadiri oleh Pemimpin Regio SFD, Sr. Kresensia Sipayung dan Sr. J. Bonaventura Suharti.
6. Komunitas St. Fransiskus Pontianak- Kalbar
Berawal dari undangan dari P. Petrus, OFMCap Pontianak dan direstui oleh Bapak Uskup Hieroniumus Bumbun, sebagai Uskup Agung Pontianak untuk berkarya di Keuskupan Pontianak. Kongregasi SFD diminta untuk mengelola sekolah Gembala Baik milik Ordo Kapusin Pontianak sebagai Kepala Sekolah di SD, SMP dan SMU Gembala Baik.
Para suster menempati satu rumah yang disediakan oleh Yayasan untuk dijadikan komunitas maka rumah diatur sedemikian rupa agar ada ruangan doa dan refter sebagai sarana hidup dalam persaudaraan.
Seiring dengan perjalanan waktu situasi komunitas kurang kondusif karena tidak ada kapel untuk berdoa para suster, dapur untuk memasak juga tempat mencuci pakaian dan keperluan lain layaknya sebuah komunitas. Maka dalam rapat Ministra Umum dan Dewan Umum diputuskan dibangun sebuah komunitas yang terletak di sebuah tanah yang dihibahkan
Bapak Uskup Emeretus Hieroniumus Bumbun kepada Kongregasi SFD atas dukungan dari Uskup Keuskupan Agung Pontianak Mgr Agus dan dibantu pembangunannya oleh Br. Maximiliamus MTB, seorang arsitektur. Pembangunan rumah komunitas dimulai dengan peletakan batu pertama pada tanggal 7 Maret 2019 dan diberkati pada tanggal 27 Agustus Agustus 2019, oleh YM Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus. Dengan demikian resmilah komunitas SFD di Pontianak dibuka dengan nama Komunitas St. Fransiskus Kuburaya Pontianak dengan anggota komunitas 3 orang
7. Komunitas Emaus – Nyarumkop – Kalbar
Sejarah singkat
Pada perjumpaan dengan Bapak Uskup Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus bersama Sr. Imelda Tampubolon dan Sr. Raynelda Simanjorang, Bapak Uskup melontarkan undangan secara lisan agar Kongregasi SFD berkenan hadir untuk berkarya di Keuskupan Pontianak, supaya ada ikatan dengan keuskupan, karena selama berkarya di Pontianak hanya memiliki ikatan dengan Yayasan Gembala Baik, yang memiliki konsekuensi bila yayasan Gembala Baik tidak membutuhkan tenaga SFD dengan segera meninggalkan Keuskupan Pontianak. Hal ini tidak dihendaki oleh Bapak Uskup Pontianak, maka beliau mengundang SFD agar secara definitive berkarya dan bekerja sama dengan pihak keuskupan Pontianak. Maka Sr. Imelda dan Sr. Raynelda pun menjawab secara spontan menjawab “ kami siap”.
Ternyata Bapak Uskup Agustinus Agus sangat serius dengan undangan lisan tersebut, terbukti Bapak Uskup Agustinus Agus terus mengingatkan dan bahkan mengirim surat undangan secara tertulis.
Mengingat pembukaan karya dan komunitas baru harus diputuskan dalam kapitel maka dalam rapat Ministra Umum dan Dewan Umum sepakat bahwa undangan bapak Uskup Agung Pontianak akan dibawakan dalam pertemuan Ministra dan Dewan Komunitas untuk menghimpun pendapat para suster sebanyak mungkin.
Maka pada tanggal 28 Maret 2016 dilaksanakan pertemuan MU, DU dengan MK dan DK di Pasar 8 Medan. Hampir semua MK dan DK Komunitas di Sumatera hadir dalam pertemuan tersebut dan semua yang hadir 100 % menyatakan pendapat bahwa undangan Bapak Uskup Agung Pontianak diterima. Puji Tuhan.
Berdasarkan pendapat para wakil dari persaudaraan, Ministra Umum dan Dewan Umum mengirimkan surat balasan yang menyatakan kesiapan untuk menerima undangan Bapak Uskup Agung Pontianak dan akan segera mengutus dua orang anggota SFD ke Nyarumkop dengan rincian tugas Sr. Isabella Ginting, SFD sebagai penanggungjawab rumah retret dan Sr. Cornelia Ginting, SFD sebagai penanggungjawab asrama putra Nyarumkop.
Pada tanggal 26 Juni 2016 dalam perayaan ekaristi bersama umat di Nyarumkop secara resmi Kongregasi SFD berkarya di Nyarungkop Keuskupan Pontianak. Dalam Perayaan Ekaristi tersebut P. Aga, OFM Cap secara resmi menyatakan kehadiran Kongregasi SFD berkarya di Nyarumkop. Umat menyambut kehadiraan para suster SFD dengan riuh tepuk tangan yang meriah.
Pada tanggal 28 Juni 2016, pukul 09.00 WIB Sr. Imelda Tampubolon, Sr. Raynelda Simanjorang, Sr. M. Fransiska Henny Padma Riasari, Sr. M. Vianny Tarigan bertemu dengan YM Bapak Uskup Agustinus Agus untuk menindaklanjuti dan menyatakan bahwa sudah resmi diantar dua orang Saudari SFD ke Nyarungkop. Dalam pembicaraan tersebut Bapak Uskup Agustinus Agus langsung menyatakan bahwa rumah retret secara keseluruhan akan direnovasi dalam waktu dekat dan ekonom keuskupan Pontianak akan diutus untuk mendata seluruh inventaris yang ada di rumah retret Emaus Nyarumkop.
Agar pelayanan di rumah retret semakin lancar, bapak Uskup Agutinus Agus langsung menyediakan satu unit sepeda motor dan mobil untuk digunakan sebagai alat transportasi demi kepentingan aktivitas rumah retret Emaus Nyarumkop.
Asrama Putra dipercayakan kepada Sr. Kornelia Ginting, SFD sebagai penanggungjawab. Anak-anak asrama yang masih bersekolah di SMP, butuh sentuhan dan pendampingan yang serius. Karena itu P. Heri sebagai ketua yayasan persekoahan di Nyarumkop menyerahkan sepenuhnya kepada Sr. Kornelia Ginting, SFD agar mengelola asrama ini sebaik mungkin dan bekerjasama dengan dua orang karyawan lainnya. Pada tanggal 27 Juni 2016 P. Heri dan Sr. Karoline, SFIC menyerahkan kunci gedung asrama dan memberitahukan hal-hal praktis kepada Sr. Kornelia Ginting, SFD. Keuangan asrama terkait langsung ke sekolah maka Sr. Kornelia sebagai penanggungjawab tidak bersentuhan langsung dengan uang asrama, tetapi boleh menyatakan apa yang perlu untuk disediakan diasrama atau segala fasilitas yang diperlukan maka pengadaannya akan diurus oleh petugas keuangan.
Tanggal 7 Agustus 2018 Sr. Imelda Tampubolon, Sr. Raynelda Simanjorang, P. Barces CP, Romo Andre OP dan Sr. Lusi CP mengantar Sr. Kristina Simamora ke Nyarumkop dan sejak saat itu pula resmi menjadi bendahara Yayasan Persekolahan Nyarumkop.
Bapak Uskup Pontianak telah merencanakan untuk renovasi rumat retret agar semakin layak sebagai sarana pembinaan iman umat di Keuskupan Pontianak. Bapak uskup juga berjanji akan memberikan kontribusi kepada Kongregasi SFD sebagai balas jasa dari kerjasama antar dua lembaga gereja.
8. Komunitas Santo Fransiskus Assisi – Balai Semandang – Kalbar
Sejarah singkat.
Tanggal 25 Mei 2015 Sr. Adriana Turnip, Sr. M. Fransiska Henny Padma Riasari, Sr. Gaudentia Sri Hastuti berangkat dari Yogyakarta menuju Ketapang untuk meninjau lokasi yang cocok untuk tempat berkarya membantu masyarakat dan umat beriman di bumi Borneo yang tercinta. Dalam penjajakan tersebut ketiga saudari ini didampingi oleh YM Mgr. Pius Riono Prabdi selaku Uskup di Keuskupan Ketapang. Hasil dari penjajakan lokasi itu menuai keputusan dalam Kapitel Umum III SFD Indonesia dengan membuka komunitas dan karya kerasulan di Balai Semandang Keuskupan Ketapang.
Tanggal 29 Juni 2016, Sr. Imelda Tampubolon, Sr. Raynelda Simanjorang, dan Sr. M. Fransiska Henny Padma Riasari mengantar dua saudari untuk menunaikan karya kerasulan di Balai Semandang yakni Sr. M. Eligia Saragih dan Sr. Sebastiana Nduru. Paroki Balai Semandang telah menyediakan rumah untuk tempat tinggal para Suster SFD, meskipun masih rumah umat yang disewa oleh Paroki. Kehadiran SFD di Balai Semandang sangat diharapkan oleh umat, terbukti bahwa saat hadir pertama sekali, Bapak Uskup, Pastor Paroki dan umat sudah menunggu dan diadakan acara penyambutan secara meriah, sesuai dengan budaya setempat. Dalam acara penyambutan tersebut, disuguhi minum tuak, arak dan beberapa jenis makanan lainnya. Beberapa hari kami tinggal bersama di Balai Semandang, acara yang sama diadakan di setiap stasi atau kring yang kami kunjungi bersama dengan kunjungan pastoral Bapa Uskup. Bersamaan dengan penyambutan ini kita resmi membuka Komunitas dan karya kerasulan di Balai Semandang. Adapun pembagian tugas dua saudari kita ini adalah; Sr. M. Eligia Saragih, ministra komunitas dan guru SMP Katolik dan Sr. Sebastiana Nduru keuangan komunitas dan guru SD Katolik Balai Semandang. Selain tugas mereka sebagai guru di sekolah, karya kerasulan yang pokok juga harus mereka laksanakan yaitu pastoral kepada semua umat, baik di Paroki maupun di kring atau stasi.
9. Komunitas Santo Fransiskus Batulicin – Kalsel
Sejarah singkat.
Komunitas ini merupakan daerah misi Keuskupan Banjarmasin yang terletak di pegunungan Meratus yang terletak di jalan Propinsi Km.335 Kabupaten Kota baru, Propinsi Kalimantan Selatan. Di desa ini sudah berdiri sekolah mulai dari TK, SD dan SMP negeri dan SMA ( swasta ). Mata pencaharian penduduk setempat sebagian besar bertani dan mendulang emas di sungai, pekerjaan ini juga dilakukan oleh anak- anak. Hal inilah yang membuat anak- anak kurang berminat untuk sekolah karena dari hasil.mendulang mereka mampu mendapatkan uang sendiri dan pernikahan usia dini sangat biasa di daerah ini. Umat katolik di stasi Karang Liwar sekitar 15 KK, mereka tinggal di desa Karang Liwar, desa Bangkalan Dayak ( orang Dayak asli ) dan PKS (Perkebunan Kelapa Sawit ) yang semuanya pendatang dari Flores dan Sumatera.
Atas permohonan Bapak Uskup Mgr. Petrus Bodeng Timang untuk mengambil bagian dalam karya perutusan di daerah misi Keuskupan Banjarmasin, maka Dewan Pimpinan Umum melalui Kapitel Umum SFD pada bulan Juli 2015 mengutus Sr. Gaudentia Sri Hastuti SFD dan Sr. Maria Maura Indah SFD untuk memulai karya di daerah Karang Liwar untuk hadir bersama umat sambil menjajagi kemungkinan karya yang bisa dikelola oleh SFD.
Pada tanggal 6 September 2015 Sr. Gaudentia Sri Hastuti SFD dan Sr. Maria Maura Indah SFD memulai tinggal di komunitas yang baru. Empat bulan pertama kedua suster menempatipondok yang berukuran 4 x 5 m2 milik Gereja yang dibangun oleh umat stasi Karang Liwar. Situasi dan kondisi pondok yang tidak layak ( dinding pondok tidak cukup kokoh, atap rumah yang bocor) untuk tempat tinggal maka pihak Keuskupan membangun rumah misi di samping pondok. Rumah misi dibangun sejak bulan Nopember dan selesai pada bulan Desember 2015 yang digunakan sebagai tempat tinggal kedua suster dengan segala aktivitasnya sebelum memiliki biara sendiri. Rumah misi mulai ditempati kedua suster pada tanggal 25 Desember 2015 sampai sekarang.
Keterlibatan suster- suster SFD di stasi Karang Liwar antara lain:
1. Bersama umat di Gereja Katolik mengikuti kegiatan yang ada di stasi, mendampingi para petugas ibadat dan petugas liturgy, mengikuti ibadat lingkungan, kunjungan keluarga yang membutuhkan, mendampingi latihan koor mazmur dan membaca KS, memimpin ibadat pada hari Minggu dan hari- hari besar ketika tidak ada imam dan kegiatan lain bersama umat.
2. Bersama masyarakat setempat antara lain: mengikuti perayaan- perayaan ibadat agama lain ( natal, waisak ), mengadakan kunjungan pada saat- saat tertentu, mengikuti kegiatan desa ( pilkades ), dll.
3. Mulai bulan April 2016 mulai mengajar agama Katolik di sekolah- sekolah negeri antara lain: SMPN II Kelumpang Hulu, SDN Bangkalan, sementara untuk SDN Karang Liwar belum masuk karena keterbatasan jumlah murid Katolik ( hanya 1 anak) dan kondisi anak.
Setelah beberapa bulan ( kurang lebih 8 bulan) mengalami hidup dan bergaul dengan masyarakat setempat kedua suster melihat kemungkinan yang bisa dilakukan untuk memulai karya di Karang Liwar yaitu memulai asrama putri untuk anak- anak pedalaman seperti tujuan awal tugas perutusan. Pastor dan suster yang berkarya di stasi sekitar memasukkan beberapa anak puteri di asrama puteri yang di kelola oleh Suster SFD.
2. Komunitas St Fransiskus Buntok-Kalteng
3. Komunitas Assisi Palangkaraya-Kalteng
4. Komunitas Greccio Muarateweh-Kalteng
5. Komunitas Santa Klara Parenggean-Kalteng
6. Komunitas St. Fransiskus Pontianak- Kalbar
7. Komunitas Emaus – Nyarumkop
8. Komunitas Santo Fransiskus Assisi – Balai Semandang – Kalbar
9. Komunitas Santo Fransiskus Batulicin – Kalsel
1. Komunitas St. Fransiskus Banjarmasin- Kalsel
Sejarah singkat
Kedatangan Suster- suster Fransiskanes dari Dongen bersangkut paut dengan kedatangan Bruder MTB ke Banjarmasin pada tahun 1935. Tahun 1933 Pastor Schoone dibantu oleh beberapa tokoh masyarakat Cina disini membuka HCS (Sekolah Belanda Tionghoa) di RK Ilir, dengan bahasa pengantar bahasa Belanda. Pemerintah Belanda tidak senang dengan sekolah katolik itu, maka nama katolik tidak boleh dipakai dalam nama sekolah itu. Sekolah itu berkembang tetapi ada kesulitan di dalam yakni kekurangan guru.
Sampai tahun 1938 para misionaris yang bekerja di Kaltim, Kalteng, dan Kalsel di bawah pimpinan Vikaris Apostolik di Pontianak. Dan syukurlah sejak tahun 1921 Bruder MTB sudah berkarya di Pontianak. Jadi soal kekurangan guru dibicarakan dengan Mgr van Valenberg OFMCap ( Vikep Pontianak ) dengan Dewan Jendral MTB di Belanda dan hasilnya tanggal 4 Oktober 1935, 6 Bruder MTB tiba di Banjarmasin. Dewan Jenderal MTB mengajukan syarat, tidak mau mengelola sekolah campuran putra putri. Karena itu pastor Schoone harus membuka sekolah lagi untuk menampung murid putrid yang waktu itu berjumlah 225 orang. Tanggal 5 Oktober 1935 pastor Schoone membuka SD putri di Kelayan.
Masyarakat senang hati dengan sekolah yang baru itu, Kotapraja berjanji member subsidi, tetapi Belanda tidak senang dengan sekolah baru itu. Kesulitan pastor Schoone di SD yang baru ini sama seperti SD di RK Ilir yakni kekurangan guru. Beliau menulis surat ke pimpinan atas permohonannya. Dewan Jenderal MSF mulai mencari suster yang mau berkarya di Banjarmasin sampai ke Jerman dan Polandia tetapi tidak dapat. Akhirnya bantuan datang juga, Dewan Jendral SFD di Belanda sanggup membantu karya misi di Banjarmasin, maka pada tanggal 23 Februari 1937 diumumkan bahwa ada 5 Suster dari Belanda yang akan diutus ke Banjaermasin dengan kegembiraan luar biasa berita itu diterima.
Pada tanggal 11 Oktober 1937 lima orang Suster SFD tiba di pelabuan Banjarmasin. Mereka adalah: Sr. Clementia Geerden, Sr. Josephina Jacobs, Sr. Theobalda van Gool ( mereka dari Medan berangkat bulan April dari Belanda ) bergabung dengan Sr. Laurentine Pijnenburg dan Sr. Josephine Ghuys yang berangkat dari Belanda bulan September. Pada waktu itu Pater Janmaat adalah Kepala Sekolah SD Putri dan ia begitu senang sehingga pada hari yang sama ia menyerahkan sekolah itu kepada suster yang baru datang. Rumah suster belum siap, tetapi ada tiga ruang kelas disediakan untuk tempat tinggal suster dan ada kapel untuk berdoa. Belum ada gereja dan baru tanggal 5 Nopember 1938 Mgr Kusters memberkati Gerja Kelayan. Para suster tinggal di ruang kelas sampai tanggal 14 Juli 1938.
Para suster mulai kerja di sekolah dan mengembangkan pendidikan yang sudah dirintis. Tanggal 1 Desember 1938 Sekolah Kepandaian Putri dibuka dan diresmikan oleh Ibu Gubernur Nyonya haga dengan jumlah murid pertama 17 orang. Tanggal 8 Desember 1941 pecah perang dunia II. Waktu itu ada 6 Suster, 6 Bruder, Mgr Kusters dan pastor Schoone yang tinggal di Banjarmasin. Karena perang situasi tidak menentu. Sesudah Natal tidak ada murid yang masuk sekolah karena takut. Banyak orang lari ke Jawa atau masuk ke pedalaman.
Atas permohonan pemerintah semua suster, bruder, pastor dan Mgr mengikuti kursus kilat perawatan dan atas permohonan Walikota Banjarmasin mereka semua pindah ke kota ( waktu itu Kelayan termasuk pinggiran kota ) suster- suster pindah ke jalan Suprapto supaya mereka tinggal dekat rumah sakit darurat. SD Suster dan Sekolah Kepandaian Putri dipakai untuk para pengungsi.
Tanggal 10 Februari 1942 dinihari walikota datang kepada Mgr Kusters dan member perintah untuk berangkat ke Jawa bersama semua suster, bruder dan pastor. Harus berangkat selekas mungkin karena tentara Jepang sudah dekat. Mgr Kusters protes tetapi harus berangkat.
Tanggal 11 Februari mereka berangkat ke Kuala Kapuas dan tanggal 12 dari Kuala Kapuas dengan perahu Makasar yang mengangkut 180 penumpang mereka menuju Surabaya tanpa kompas dan hanya mengandalkan arah matahari. Karena menghindari banyak ranjau laut ternyata perjalanan mereka terdampar ke Madura tanggal 17 Februari. Kapal Marine Belanda akhirnya membawa mereka dari Madura ke Surabaya. Tanggal 18 Februari para suster tiba di Surabaya dan menginap di Susteran Ursulin Kepanjen. Para suster membantu bekerja di RS RKZ. Tidak lama ternyata Susteran Ursulin juga diduduki tentara Jepang, mereka harus pindah ke rumah biasa, tetapi ada 2 Suster yang tetap bekerja di RKZ dan yang lain diam- diam membantu mengajar di sekolah. Tanggal 3 September 1943 para suster ditangkap oleh Jepang dan diinternir di Surabaya bersama 70 Suster yang lain. Tanggal 2 September 1944 mereka dipindah ke kamp Halmahera Semarang.
Kamp ini sangat buruk, mereka harus kerja keras, makan kurang dan waktu malam mereka juga harus jaga. Ada 4.000 orang yang ditawan di kamp ini. Tanggal 3 September 1945 para suster boleh meninggalkan kamp dan untuk sementara mereka berobat dan bekerja di RS Elisabeth Semarang. Karena kondisi para suster sesudah keluar dari kamp tidak kuat lagi maka mereka kembali ke Belanda tanggal 15 Desember 1945 dan tiba di Dongen 8 januari 1946. Mereka baru kembali lagi ke Banjarmasin tahun 1949.
Selama perang, sekolah suster ditutup dari Februari 1942 sampai September 1945 karena diduduki dan dipakai oleh tentara Jepang. Gedung sekolah banyak mengalami kerusakan dan alat- alat sekolah dicuri. Sesudah tentara Jepang keluar, ganti tentara Belanda (KNIL) yang masuk dan memakai gedung sekolah. Mgr Kusters terpaksa membangun pondok di halaman gereja dan susteran yang berfungsi sebagai ruang kelas, tetapi guru tidak ada juga. Sekolah Bruder dibuka lagi November 1945 dimana 2 orang pastor MSF, 1 bruder dan 1 suster dari Veghel yang baru keluar dari kamp menjadi guru.
Suster SFD belum bisa datang lagi ke Banjarmasin, maka Mgr Kusters meminjam suster dari KSFL Pematangsiantar yang tinggal di Jakarta dan tidak boleh kembali ke Medan karena situasi kurang aman. Ada 13 suster yang membantu mengajar di sekolah. Tahun 1949 mereka harus pulang ke Medan. Tanggal 31 Mei 1949, 5 Suster SFD datang lagi ke Banjarmasin untuk melanjutkan karya yang telah dimulai dan 4 suster menyusul dalam tahun yang sama sehingga Banjarmasin menjadi komunitas yang cukup besar.
Tahun tahun sesudah perang memang cukup berat untuk orang Indonesia maupun orang dari luar. Waktu malam kurang aman karena banyak tembak menembak. Rumah Suster bertetangga dengan tangsi KNIL yang sering mendapat serangan gerilya Indonesia. Kadang- kadang para suster membangun “bunker” dengan tilam mereka, ada keberanian untuk menghadapi situasi yang tidak aman.
Sekolah suster berjalan baik, walau ada banyak kesulitan. Sesudah perang diberlakukan system sekolah pool ( gabungan sekolah pemerintah dan swasta). Tahun 1951 sistem sekolah pool dihapus dan sekolah suster di Kelayan menjadi sekolah swasta lagi seperti dulu, tetapi tidak boleh lagi memakai nama yayasan Belanda maka diganti menjadi: “ Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Santa Maria” pada tanggal 30 Oktober 1951. Tanggal 1 Mei 1950 Bahasa Indonesia menjadi bahasa pengantar di sekolah suster, tentu ini merupakan perubahan yang luar biasa bagi guru dan murid yang selama ini memakai bahasa Belanda. Tanggal 1 Juli 1953 para suster mulai membuka SMP, Sr. Miryam sebagai kepala sekolah yang pertama. Tahun 1956 sesudah berkelahi dengan TNI selama 6 tahun semua gedung sekolah suster dibebaskan dari tentara. Sekolah banyak yang rusak setelah dipakai tiga kelompok tentara (Jepang, Belanda dan Indonesia) perlu perbaikan yang besar.
Jelas sekali bahwa tahun- tahun pertama berat sekali untuk suster SFD di Banjarmasin. Sebelum perang semuanya dalam taraf pembangunan, sesudahnya harus mendekam di kamp selama 4 tahun dan untuk pemulihan tenaga harus kembali ke Belanda. Tahun 1949 ketika suster datang lagi ke Banjarmasin terjadi konflik bersenjata antara tentara Belanda dan Indonesia, juga transisi dari pemerintah Belanda ke pemerintah Indonesia. Semua perubahan itu menuntut penyesuaian hati dari para suster yang berasal dari luar negeri, tidak mudah tapi mereka berusaha untuk menghadapi semuanya. Kesulitan demi kesulitan tidak pernah selesai, demikian juga dengan tenaga yang dikirim ke Indonesia mulai tidak sanggup lagi maka Dewan Jenderal SFD memutuskan untuk menutup komunitas di Banjarmasin pada tanggal 1 Desember 1959. Mgr sangat keberatan beliau menulis surat ke Dongen yang harus dipelajari Dewan Jenderal SFD. Mgr meminta SFD boleh berangkat asal ada Kongregasi lain yang bersedia meneruskan karya suster. Setelah mendekati 6 Kongregasi suster di Jawa tidak ada satupun yang bersedia ke Banjarmasin.
Syukurlah, akhirnya ada putri- putri pribumi yang bersedia masuk dan bergabung dalam Kongregasi SFD. Tanggal 11 Oktober 1966, 3 suster pertama Indonesia datang dari Pati ke Banjarmasin untuk melanjutkan karya yang telah dirintis suster- suster pendahulu yang berasal dari Belanda. Sampai sekarang apa yang telah dimulai itu, dilanjutkan dan dikembangkan oleh para suster SFD.
Visi
Persekutuan untuk menciptakan persaudaraan, yang dijiwai semangat Santo Fransiskus dari Asisi dengan dilandasi cinta kasih Yesus Kristus.
Misi
Dengan dijiwai semangat Santo Fransiskus dari Asisi maka anggota komunitas selalu siap dan rela:
a. Menjadi yang paling dina dalam persaudaraan dan penuh kegembiraan melaksanakan perutusan.
b. Mengadakan pembaharuan sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman untuk meningkatkan pelayanan kepada sesama.
c. Meningkatkan pendampingan terhadap kaum muda, terutama kepada kaum perempuan dalam bidang pendidikan mental dan spiritual.
2. Komunitas St Fransiskus Buntok-Kalteng
Sejarah singkat
Pada tanggal, 7 Januari 1969, 4 orang suster pioner tiba di Buntok yaitu: Sr. Ameline Van Vooren, Sr. Yoseph Gemer, Sr. Bernadette Tanden dan Sr. Dominique Go Swan Nio. Sr. Ameline Van Vooren membuka poliklinik untuk melayani orang-orang sakit dan orang-orang miskin di paroki dan sekitarnya dibantu oleh Sr. Bernadette. Disamping itu Sr. Bernadette Tanden bertugas mengurus asrama yang sebelumnya diurus oleh Pastor Stahlhache dan Pastor Wiegers, MSF. Sr. Dominique Go Swan Nio bertugas di SMP Kristen yang kemudian pada tanggal 18 November 1971 Sr. Dominique Go Swan Nio diganti oleh Sr Margriet sebagai Kepala sekolah dan Dominique Go Swan Nio pindah ke Banjarmasin. Pada tanggal 21 Oktober 1972 Sr. Agnes ke Buntok membantu di poliklinik juga melayani umat di stasi-stasi maupun pedalaman yang kemudian disusul oleh Sr. Gertrudis pada tanggal 2 Mei 1976 sebagai guru SMP Kristen dan asrama.
Karya-karya para suster mulai dikenal masyarakat dan umat, dan suster-suster diperkenankan untuk mengelola TK Sicilia yang dibuka pada tahun 1982 kemudian deserahkan kepada kongregasi. Pada tahun 2006 pengalihan nama menjadi TK Santa Maria. Tahun 2003 SD Santa Maria dibuka, Sr. Julia Sujati sebagai kepala sekolah. Tahun 2009 SMP Santa Maria dibuka Sr. Germana Sudarniyati sebagai kepala sekolah.
Komunitas Portiuncula Buntok sekarang ini beralamat di Jalan Panglima Batur 07 (samping gereja yang baru/belakang SMP Santa Maria), sebelumnya menempati rumah di samping gereja lama yang sekarang berfungsi sebagai aula paroki. Rumah baru ini diberkati oleh Mgr. A.M Sutrinatmaka, MSF pada tanggal 26 Desember 2001 dan diresmikan oleh Bupati Barito Selatan Ir. H. Baharudin H. Lisa dengan nama: Komunitas PORTIUNCULA
Visi: Persaudaraan yang disemangati oleh cinta Bapa bagi sesama
Misi: Melaksanakan tugas perutusan kepada anak didik, orang sakit, asrama dan pelayanan pastoral.
3. Komunitas Assisi Palangkaraya-Kalteng
Sejarah singkat
Berawal dari tawaran Bapak Uskup Demarteau, Uskup Keuskupan Banjarmasin kepada Pemimpin SFD Regio Jawa Kalimantan Sr. Gabriel pada tahun 1971 untuk berkarya di Keuskupan Palangkaraya yang merupakan pemekaran Keuskupan Banjarmasin membuka komunitas dan berkarya di rumah pastoran MSF Kalimantan Jl. TjilikRiwut Km. 1 Palangkaraya. Diutus untuk mengawali komunitas yaitu Sr. Anita Lestari sebagai Kepala TK Sinar Surya dan Sr. Yohana sebagai guru SD dibawah Yayasan Siswarta milik Keuskupan, sedangkan Sr. Agnes Rumirah berpastoral sambil menjajaki perijinan Poliklinik, namun sampai sekarang ijin pendirian Poliklinik tidak di dapatkan.
Pada tanggal 2 Juli 1994 pemberkatan rumah baru milik Kongregasi SFD yang beralamat di Jl. Tjilik Riwut Km. 5,5 di depan kantor Walikota Palangkaraya, diberkati oleh Mgr. Husein Uskup Keuskupan Palangkaraya. Seiring berjalannya waktu Kongregasi mendirikan karya Sekolah TK, SD dan SMP dibawah naungan Yayasan Pendidikan dan Pengajaran Santa Maria Banjarmasin. Sekolah berkembang dan semakin dipercaya oleh masyarakat setempat.
Visi :
Terwujudnya hidup persaudaraan yang inklusif / terbuka, terencana dan tertib, harmonis dan indah, damai dan gembira, saling mendukung, yang dilandasi oleh cinta kepada Allah dan sesama manusia.
Misi :
a. Terbuka terhadap tanda – tanda zaman, dengan mengembangkan serta mewujudkan potensi diri (sumber daya manusia) dan spiritualitas tarekat dalam kehidupan menggereja dan bermasyarakat secara nyata.
b. Mewujudkan hidup persaudaraan yang ramah dan akrab, tulus dan berbelas kasih, sehingga dapat memberikan pelayanan yang terbaik bagi masyarakat, khususnya dalam bidang pendidikan yang bersifat menyeluruh / holistic kepada anak didik.
c. Membangun hidup persaudaraan yang bertekun dalam doa dan internalisasi nilai-nilai injili dan spiritualitas tarekat, sebagai dasar untuk mewartakan kerajaan Allah dan melaksanakan misi tarekat dalam kehidupan setiap hari.
d. Meningkatkan kualitas hidup religius Fransiskan, di atas 4 pilar nilai / 4 nilai dasariah, yaitu harus dihayati dalam hidup persaudaraan. Keempat nilai pokok out adalah : pertobatan, kemiskinan, kehinadinaan, dan berdoa. Yang mengingatkan setiap orang bahwa hidup didunia ini adalah sebagai “ PERANTAU DAN MUSAFIR “ / Peziarah, yang sedang berjalan menuju Tanah Air Abadi.
4. Komunitas Greccio Muarateweh-Kalteng
Sejarah singkat
Berdiri pada tahun 1985
Setelah sekian tahu, rumah menjadi rusak dan perlu membangun kembali, maka komunitas (bangunan) baru diberkati pada: 16 Maret 2000 Yang Memberkati rumah Administrator Diosisan Keuskupan Palangkaraya P. Willibald Pfeuffer, MSF (alm)
Visi
Komunitas yang menciptakan Spiritualitas Persaudaraan dalam Pelayanan kepada setiap Orang
Misi
Kerelaan untuk membuka diri dalam memperhatikan kebutuhan Gereja & Masyarakat, Kaum Muda, Orang kecil dengan pendampingan yang maksimal sebagaimana yang diteladankan oleh Yesus Kristus dalam Keprihatin-Nya.
Motto Komunitas “ Lahir Kembali menjadi yang terkecil “
5. Komunitas Santa Klara Parenggean-Kalteng
Sejarah singkat
Bermula dari undangan Rm. Willybald MSF untuk berkarya pastoral di Parenggean, maka Kongregasi mengutus Sr. Margriet Alina untuk mengajar agama di SD Negeri, Sr. Mari Agnes Nesi mengajar agama di SMP Negeri, dan Sr. Marcella Sidebang mengawali perijinan Poliklinik.
Pada awalnya para suster menempati rumah yang dibeli dari masyarakat setempat yang sekarang digunakan untuk Poliklinik sambil membangun rumah komunitas di belakang Poliklinik.
Pada tahun 2002 pemberkatan rumah baru oleh Mgr. A. Sutrisna Atmaka Uskup Keuskupan Palangkaraya dihadiri oleh Pemimpin Regio SFD, Sr. Kresensia Sipayung dan Sr. J. Bonaventura Suharti.
6. Komunitas St. Fransiskus Pontianak- Kalbar
Berawal dari undangan dari P. Petrus, OFMCap Pontianak dan direstui oleh Bapak Uskup Hieroniumus Bumbun, sebagai Uskup Agung Pontianak untuk berkarya di Keuskupan Pontianak. Kongregasi SFD diminta untuk mengelola sekolah Gembala Baik milik Ordo Kapusin Pontianak sebagai Kepala Sekolah di SD, SMP dan SMU Gembala Baik.
Para suster menempati satu rumah yang disediakan oleh Yayasan untuk dijadikan komunitas maka rumah diatur sedemikian rupa agar ada ruangan doa dan refter sebagai sarana hidup dalam persaudaraan.
Seiring dengan perjalanan waktu situasi komunitas kurang kondusif karena tidak ada kapel untuk berdoa para suster, dapur untuk memasak juga tempat mencuci pakaian dan keperluan lain layaknya sebuah komunitas. Maka dalam rapat Ministra Umum dan Dewan Umum diputuskan dibangun sebuah komunitas yang terletak di sebuah tanah yang dihibahkan
Bapak Uskup Emeretus Hieroniumus Bumbun kepada Kongregasi SFD atas dukungan dari Uskup Keuskupan Agung Pontianak Mgr Agus dan dibantu pembangunannya oleh Br. Maximiliamus MTB, seorang arsitektur. Pembangunan rumah komunitas dimulai dengan peletakan batu pertama pada tanggal 7 Maret 2019 dan diberkati pada tanggal 27 Agustus Agustus 2019, oleh YM Uskup Agung Pontianak Mgr Agustinus Agus. Dengan demikian resmilah komunitas SFD di Pontianak dibuka dengan nama Komunitas St. Fransiskus Kuburaya Pontianak dengan anggota komunitas 3 orang
7. Komunitas Emaus – Nyarumkop – Kalbar
Sejarah singkat
Pada perjumpaan dengan Bapak Uskup Agung Pontianak Mgr. Agustinus Agus bersama Sr. Imelda Tampubolon dan Sr. Raynelda Simanjorang, Bapak Uskup melontarkan undangan secara lisan agar Kongregasi SFD berkenan hadir untuk berkarya di Keuskupan Pontianak, supaya ada ikatan dengan keuskupan, karena selama berkarya di Pontianak hanya memiliki ikatan dengan Yayasan Gembala Baik, yang memiliki konsekuensi bila yayasan Gembala Baik tidak membutuhkan tenaga SFD dengan segera meninggalkan Keuskupan Pontianak. Hal ini tidak dihendaki oleh Bapak Uskup Pontianak, maka beliau mengundang SFD agar secara definitive berkarya dan bekerja sama dengan pihak keuskupan Pontianak. Maka Sr. Imelda dan Sr. Raynelda pun menjawab secara spontan menjawab “ kami siap”.
Ternyata Bapak Uskup Agustinus Agus sangat serius dengan undangan lisan tersebut, terbukti Bapak Uskup Agustinus Agus terus mengingatkan dan bahkan mengirim surat undangan secara tertulis.
Mengingat pembukaan karya dan komunitas baru harus diputuskan dalam kapitel maka dalam rapat Ministra Umum dan Dewan Umum sepakat bahwa undangan bapak Uskup Agung Pontianak akan dibawakan dalam pertemuan Ministra dan Dewan Komunitas untuk menghimpun pendapat para suster sebanyak mungkin.
Maka pada tanggal 28 Maret 2016 dilaksanakan pertemuan MU, DU dengan MK dan DK di Pasar 8 Medan. Hampir semua MK dan DK Komunitas di Sumatera hadir dalam pertemuan tersebut dan semua yang hadir 100 % menyatakan pendapat bahwa undangan Bapak Uskup Agung Pontianak diterima. Puji Tuhan.
Berdasarkan pendapat para wakil dari persaudaraan, Ministra Umum dan Dewan Umum mengirimkan surat balasan yang menyatakan kesiapan untuk menerima undangan Bapak Uskup Agung Pontianak dan akan segera mengutus dua orang anggota SFD ke Nyarumkop dengan rincian tugas Sr. Isabella Ginting, SFD sebagai penanggungjawab rumah retret dan Sr. Cornelia Ginting, SFD sebagai penanggungjawab asrama putra Nyarumkop.
Pada tanggal 26 Juni 2016 dalam perayaan ekaristi bersama umat di Nyarumkop secara resmi Kongregasi SFD berkarya di Nyarungkop Keuskupan Pontianak. Dalam Perayaan Ekaristi tersebut P. Aga, OFM Cap secara resmi menyatakan kehadiran Kongregasi SFD berkarya di Nyarumkop. Umat menyambut kehadiraan para suster SFD dengan riuh tepuk tangan yang meriah.
Pada tanggal 28 Juni 2016, pukul 09.00 WIB Sr. Imelda Tampubolon, Sr. Raynelda Simanjorang, Sr. M. Fransiska Henny Padma Riasari, Sr. M. Vianny Tarigan bertemu dengan YM Bapak Uskup Agustinus Agus untuk menindaklanjuti dan menyatakan bahwa sudah resmi diantar dua orang Saudari SFD ke Nyarungkop. Dalam pembicaraan tersebut Bapak Uskup Agustinus Agus langsung menyatakan bahwa rumah retret secara keseluruhan akan direnovasi dalam waktu dekat dan ekonom keuskupan Pontianak akan diutus untuk mendata seluruh inventaris yang ada di rumah retret Emaus Nyarumkop.
Agar pelayanan di rumah retret semakin lancar, bapak Uskup Agutinus Agus langsung menyediakan satu unit sepeda motor dan mobil untuk digunakan sebagai alat transportasi demi kepentingan aktivitas rumah retret Emaus Nyarumkop.
Asrama Putra dipercayakan kepada Sr. Kornelia Ginting, SFD sebagai penanggungjawab. Anak-anak asrama yang masih bersekolah di SMP, butuh sentuhan dan pendampingan yang serius. Karena itu P. Heri sebagai ketua yayasan persekoahan di Nyarumkop menyerahkan sepenuhnya kepada Sr. Kornelia Ginting, SFD agar mengelola asrama ini sebaik mungkin dan bekerjasama dengan dua orang karyawan lainnya. Pada tanggal 27 Juni 2016 P. Heri dan Sr. Karoline, SFIC menyerahkan kunci gedung asrama dan memberitahukan hal-hal praktis kepada Sr. Kornelia Ginting, SFD. Keuangan asrama terkait langsung ke sekolah maka Sr. Kornelia sebagai penanggungjawab tidak bersentuhan langsung dengan uang asrama, tetapi boleh menyatakan apa yang perlu untuk disediakan diasrama atau segala fasilitas yang diperlukan maka pengadaannya akan diurus oleh petugas keuangan.
Tanggal 7 Agustus 2018 Sr. Imelda Tampubolon, Sr. Raynelda Simanjorang, P. Barces CP, Romo Andre OP dan Sr. Lusi CP mengantar Sr. Kristina Simamora ke Nyarumkop dan sejak saat itu pula resmi menjadi bendahara Yayasan Persekolahan Nyarumkop.
Bapak Uskup Pontianak telah merencanakan untuk renovasi rumat retret agar semakin layak sebagai sarana pembinaan iman umat di Keuskupan Pontianak. Bapak uskup juga berjanji akan memberikan kontribusi kepada Kongregasi SFD sebagai balas jasa dari kerjasama antar dua lembaga gereja.
8. Komunitas Santo Fransiskus Assisi – Balai Semandang – Kalbar
Sejarah singkat.
Tanggal 25 Mei 2015 Sr. Adriana Turnip, Sr. M. Fransiska Henny Padma Riasari, Sr. Gaudentia Sri Hastuti berangkat dari Yogyakarta menuju Ketapang untuk meninjau lokasi yang cocok untuk tempat berkarya membantu masyarakat dan umat beriman di bumi Borneo yang tercinta. Dalam penjajakan tersebut ketiga saudari ini didampingi oleh YM Mgr. Pius Riono Prabdi selaku Uskup di Keuskupan Ketapang. Hasil dari penjajakan lokasi itu menuai keputusan dalam Kapitel Umum III SFD Indonesia dengan membuka komunitas dan karya kerasulan di Balai Semandang Keuskupan Ketapang.
Tanggal 29 Juni 2016, Sr. Imelda Tampubolon, Sr. Raynelda Simanjorang, dan Sr. M. Fransiska Henny Padma Riasari mengantar dua saudari untuk menunaikan karya kerasulan di Balai Semandang yakni Sr. M. Eligia Saragih dan Sr. Sebastiana Nduru. Paroki Balai Semandang telah menyediakan rumah untuk tempat tinggal para Suster SFD, meskipun masih rumah umat yang disewa oleh Paroki. Kehadiran SFD di Balai Semandang sangat diharapkan oleh umat, terbukti bahwa saat hadir pertama sekali, Bapak Uskup, Pastor Paroki dan umat sudah menunggu dan diadakan acara penyambutan secara meriah, sesuai dengan budaya setempat. Dalam acara penyambutan tersebut, disuguhi minum tuak, arak dan beberapa jenis makanan lainnya. Beberapa hari kami tinggal bersama di Balai Semandang, acara yang sama diadakan di setiap stasi atau kring yang kami kunjungi bersama dengan kunjungan pastoral Bapa Uskup. Bersamaan dengan penyambutan ini kita resmi membuka Komunitas dan karya kerasulan di Balai Semandang. Adapun pembagian tugas dua saudari kita ini adalah; Sr. M. Eligia Saragih, ministra komunitas dan guru SMP Katolik dan Sr. Sebastiana Nduru keuangan komunitas dan guru SD Katolik Balai Semandang. Selain tugas mereka sebagai guru di sekolah, karya kerasulan yang pokok juga harus mereka laksanakan yaitu pastoral kepada semua umat, baik di Paroki maupun di kring atau stasi.
9. Komunitas Santo Fransiskus Batulicin – Kalsel
Sejarah singkat.
Komunitas ini merupakan daerah misi Keuskupan Banjarmasin yang terletak di pegunungan Meratus yang terletak di jalan Propinsi Km.335 Kabupaten Kota baru, Propinsi Kalimantan Selatan. Di desa ini sudah berdiri sekolah mulai dari TK, SD dan SMP negeri dan SMA ( swasta ). Mata pencaharian penduduk setempat sebagian besar bertani dan mendulang emas di sungai, pekerjaan ini juga dilakukan oleh anak- anak. Hal inilah yang membuat anak- anak kurang berminat untuk sekolah karena dari hasil.mendulang mereka mampu mendapatkan uang sendiri dan pernikahan usia dini sangat biasa di daerah ini. Umat katolik di stasi Karang Liwar sekitar 15 KK, mereka tinggal di desa Karang Liwar, desa Bangkalan Dayak ( orang Dayak asli ) dan PKS (Perkebunan Kelapa Sawit ) yang semuanya pendatang dari Flores dan Sumatera.
Atas permohonan Bapak Uskup Mgr. Petrus Bodeng Timang untuk mengambil bagian dalam karya perutusan di daerah misi Keuskupan Banjarmasin, maka Dewan Pimpinan Umum melalui Kapitel Umum SFD pada bulan Juli 2015 mengutus Sr. Gaudentia Sri Hastuti SFD dan Sr. Maria Maura Indah SFD untuk memulai karya di daerah Karang Liwar untuk hadir bersama umat sambil menjajagi kemungkinan karya yang bisa dikelola oleh SFD.
Pada tanggal 6 September 2015 Sr. Gaudentia Sri Hastuti SFD dan Sr. Maria Maura Indah SFD memulai tinggal di komunitas yang baru. Empat bulan pertama kedua suster menempatipondok yang berukuran 4 x 5 m2 milik Gereja yang dibangun oleh umat stasi Karang Liwar. Situasi dan kondisi pondok yang tidak layak ( dinding pondok tidak cukup kokoh, atap rumah yang bocor) untuk tempat tinggal maka pihak Keuskupan membangun rumah misi di samping pondok. Rumah misi dibangun sejak bulan Nopember dan selesai pada bulan Desember 2015 yang digunakan sebagai tempat tinggal kedua suster dengan segala aktivitasnya sebelum memiliki biara sendiri. Rumah misi mulai ditempati kedua suster pada tanggal 25 Desember 2015 sampai sekarang.
Keterlibatan suster- suster SFD di stasi Karang Liwar antara lain:
1. Bersama umat di Gereja Katolik mengikuti kegiatan yang ada di stasi, mendampingi para petugas ibadat dan petugas liturgy, mengikuti ibadat lingkungan, kunjungan keluarga yang membutuhkan, mendampingi latihan koor mazmur dan membaca KS, memimpin ibadat pada hari Minggu dan hari- hari besar ketika tidak ada imam dan kegiatan lain bersama umat.
2. Bersama masyarakat setempat antara lain: mengikuti perayaan- perayaan ibadat agama lain ( natal, waisak ), mengadakan kunjungan pada saat- saat tertentu, mengikuti kegiatan desa ( pilkades ), dll.
3. Mulai bulan April 2016 mulai mengajar agama Katolik di sekolah- sekolah negeri antara lain: SMPN II Kelumpang Hulu, SDN Bangkalan, sementara untuk SDN Karang Liwar belum masuk karena keterbatasan jumlah murid Katolik ( hanya 1 anak) dan kondisi anak.
Setelah beberapa bulan ( kurang lebih 8 bulan) mengalami hidup dan bergaul dengan masyarakat setempat kedua suster melihat kemungkinan yang bisa dilakukan untuk memulai karya di Karang Liwar yaitu memulai asrama putri untuk anak- anak pedalaman seperti tujuan awal tugas perutusan. Pastor dan suster yang berkarya di stasi sekitar memasukkan beberapa anak puteri di asrama puteri yang di kelola oleh Suster SFD.
Video
/fa-clock-o/ TRENDING$type=list
-
UJUD KERASULAN DOA KWI DAN UJUD DOA SFD INDONESIA TAHUN 2016 PERSEMBAHAN HA...
-
MASA ASPIRAN Masa Aspiran merupakan masa dimana para calon dalam tahap paling dini diperkenalkan kehidupan membiara. Pada m...
-
Pembaharuan Kaul Inti hidup membiara atau hidup berkaul adalah kita ingin menyerahkan diri penuh kepada Tuhan yang telah memanggi...
-
Sejarah Lahirnya SFD di Dongen Kongregasi Suster-Suster Fransiskanes Dongen mulai terbentuk akibat Revolusi Perancis pada tahun 1789...
-
Syukur merupakan kata yang paling pantas dan layak diungkapkan oleh keluarga besar Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina (SFD) karena ...
RECENT WITH THUMBS$type=blogging$m=0$cate=0$sn=0$rm=0$c=4$va=0
RECENT$type=list-tab$date=0$au=0$c=5
REPLIES$type=list-tab$com=0$c=4$src=recent-comments
RANDOM$type=list-tab$date=0$au=0$c=5$src=random-posts
/fa-fire/ YEAR POPULAR$type=one
-
MASA ASPIRAN Masa Aspiran merupakan masa dimana para calon dalam tahap paling dini diperkenalkan kehidupan membiara. Pada m...
-
UJUD KERASULAN DOA KWI DAN UJUD DOA SFD INDONESIA TAHUN 2016 PERSEMBAHAN HA...
-
Syukur merupakan kata yang paling pantas dan layak diungkapkan oleh keluarga besar Kongregasi Suster-suster Fransiskus Dina (SFD) karena ...
COMMENTS